Kau tak pernah sekedar sketsa.
Goresan tentangmu selalu utuh.
Hanya sedikit waktu yang kuperlu 
Tuk mengingatmu.
Sisanya, 
Sebagian besar umurku , habis untuk gagal
melupakanmu.
Kau tak punya senggang, 
Aku tak miliki waktu luang. 
Yang
ada kini cuma hati lapang,
Aku menghabiskan sepanjang hari 
Untuk bersiap melupakanmu
sepanjang malam.
Ketika malam tiba, 
Mengapa bukan pelita?
Pelukmukah yang bikin aku menyala?
Masih hangat pelukmu, 
ketika mulai dingin menjamah malamku.
Bila tak bisa mengerti, 
Cobalah tidak mengerti.
Begitulah
aku terhadapmu.
Kita masih akan sepasang remaja 
Kelak di ufuk umur yang
menua 
Merah bata. . .
Ini bukanlah kata- kata yang kurangkai, 
Tapi bait -bait peristiwa yang kita bingkai.
Berkawan sunyi, 
Kulawan sepi,
Sendiri. . . 
Siapa saja boleh mengutip kata -kata rindu,
Toh mereka tetap harus mencantumkan 
kau dan aku.
Yang kumau bukan peredam, 
Bukan pula pereda.
Rindu bukanlah soal dendam, tak juga melulu cinta.
Rindu tak mengenal lelah, 
meski cinta tak pernah rehat
Aku tidak sedang bermimpi, 
Sejak kau bukanlah imaji.
Sebenarnya 
Bukan kau yang berbahaya, 
Tapi cintaku yang
menggila.
Jika kau sudah selesai, 
aku hanya ingin dibelai.
Cinta selalu butuh bahan tertawaan 
Agar buku harian tak
penuh tangisan.
Dan,
Delapan penjuru rindu, 
Berpelukan menyeru bait bait aksara,
Namamu




Posting Komentar