Unknown
Setiap malam
Kugambar wajah
Masa depan Indonesia
Paginya,
Kuhapus sendiri
Dan aku tertawa-tawa . . .
Bertahun-tahun
Aku tak tidur malam,
Bekerja . . .
Membangun Mercusuar
Cahaya benderang.
Setiap saat
Aku siap mengangkutnya
Langsung ke Sidrathul Muntaha
Karena ternyata Indonesia
Tidak memerlukannya . . .


Semarang, 21 bulan 6
Unknown
Hampir pecah kepalaku
Oleh Indonesia
Otakku remuk
Oleh Praktik negaranya
Darahku mendidih
Melihat tingkah pejabat pejabatnya
Perasaanku terbakar
Oleh KKN nya
Yang pinter dan tidak kentara
Dadaku ini mau meledak
Karena rakyat terus dibodohi
Tidak habis habisnya
Hatiku tidak sabar
Menunggu . . .
Kapan Tuhan membawa kenyataan
Bahwa mereka
Sesungguhnya tidak layak
Duduk dikursinya . . .

Label: 0 komentar | edit post
Unknown
Tegak tubuhku
Kokoh mengakar
Seperti gunung mengakar
Pada semesta bumi,
Kusapa Engkau
Allahu Akbar,
Allah Maha Besar,
Segala puji bagiMu
Pagi, Siang, Petang
Bagian dariMu untukku
Dan kembali lagi padaMu

Ragaku,
Pikiranku,
Hatiku,
Kunikahkan dengan kerendahan Khauf
Roja'ku atasMu
Inna shalati,
wa nusukii,
wa mahyaaya,
wa mamatii
illahi Rabbi

Engkaulah Al Malik
Penguasa dari Segala-galanya
Puji bagiMu,
Penguasa semesta
Sami'allahuliman hamida
Yaa Rabbi
Dengarlah orang
Yang memujiMu

Sujudku pada tanahMu
Kuratakan keningku
Kutanahkan wajahku
Tundukku atasMu
Robbighfirlii
Warhamnii
Allah,
Ampunilah aku
Kasihanilah aku

 . . .Fil Alllamina Innaka, hamiidummajiid

" Shalat" Semarang, 17 bulan 6
Karya : Yanuar Filayudha




Label: 0 komentar | edit post
Unknown
Bagaimana aku bersembunyi dariMu
Sedang batu itu mainanMu
Bagaimana aku berlari agar tak tertangkap
Memutar melingkar mencari jalan
Sedang jalan itu sendiri selalu menuju arahMu
Bagaimana aku hindari nyata
Sedang Nyata dan Fana itu masa dariMu
Untukku . . .

Rangkaian senandung syair merdu
Dari kertas terbaik ku lantunkan
Kau kalahkan aku
Hanya dengan satu ayatmu saja
Dengan stanza sumbang
Dari tenggorokan tua kala fajar terlahir
Kubangun dengan mewah rumah
Dengan tudung emasnya
Tapi Surau Mu
Berdinding bambu , langitkan jerami
Tempatkan banyak pengikutmu untuk menyapamu
Sekali lagi Kau kalahkan aku . . .

Allah ku
aku dalam keindahanMu
Ampuni aku dengan istighfar
Dari bibir bibir nadir ini
Banyakkah dosa ini
Dengki,
Munafik,
Congak,
Serakah,
Ujub,
Riya',
Yang menyumbat dalam comberan hatiku
Maka berikan sepercik airMu,
Guyurlah sampah sampah itu

. . .Iyyaka Nasta'in . . .
Hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan
Maka janganlah Engkau membuatku keder
Kaulah pemilik segalanya
Kaulah pemilik hatiku
Maha segala Maha

laa ilaaha illallaah… "


Semarang, 11 Juni 2013
Karya : Yanuar Filayudha


Label: 0 komentar | edit post
Unknown
“Kau Ini Bagaimana Atau Aku Harus Bagaimana”

Kau ini bagaimana
Kau bilang aku merdeka, kau memilihkan untukku segalanya
Kau suruh aku berpikir, aku berpikir kau tuduh aku kapir


Aku harus bagaimana
Kau bilang bergeraklah, aku bergerak kau curigai
Kau bilang jangan banyak tingkah, aku diam saja kau waspadai

Kau ini bagaimana
Kau suruh aku memegang prinsip, aku memegang prinsip kau tuduh aku kaku
Kau suruh aku toleran, aku toleran kau bilang aku plin-plan

Aku harus bagaimana
Aku kau suruh maju, aku mau maju kau selimpung kakiku
Kau suruh aku bekerja, aku bekerja kau ganggu aku

Kau ini bagaimana
Kau suruh aku taqwa, khotbah keagamaanmu membuatku sakit jiwa
Kau suruh aku mengikutimu, langkahmu tak jelas arahnya

Aku harus bagaimana
Aku kau suruh menghormati hukum, kebijaksanaanmu menyepelekannya
Aku kau suruh berdisiplin, kau menyontohkan yang lain

Kau ini bagaimana
Kau bilang Tuhan sangat dekat, kau sendiri memanggil-manggilNya dengan pengeras suara setiap saat
Kau bilang kau suka damai, kau ajak aku setiap hari bertikai

Aku harus bagaimana
Aku kau suruh membangun, aku membangun kau merusakkannya
Aku kau suruh menabung, aku menabung kau menghabiskannya

Kau ini bagaimana
Kau suruh aku menggarap sawah, sawahku kau tanami rumah-rumah
Kau bilang aku harus punya rumah, aku punya rumah kau meratakannya dengan tanah

Aku harus bagaimana
Aku kau larang berjudi, permainan spekulasimu menjadi-jadi
Aku kau suruh bertanggung jawab, kau sendiri terus berucap Wallahu A’lam Bisshowab

Kau ini bagaimana
Kau suruh aku jujur, aku jujur kau tipu aku
Kau suruh aku sabar, aku sabar kau injak tengkukku

Aku harus bagaimana
Aku kau suruh memilihmu sebagai wakilku, sudah ku pilih kau bertindak sendiri semaumu
Kau bilang kau selalu memikirkanku, aku sapa saja kau merasa terganggu

Kau ini bagaimana
Kau bilang bicaralah, aku bicara kau bilang aku ceriwis
Kau bilang jangan banyak bicara, aku bungkam kau tuduh aku apatis

Aku harus bagaimana
Kau bilang kritiklah, aku kritik kau marah
Kau bilang carikan alternatifnya, aku kasih alternatif kau bilang jangan mendikte saja

Kau ini bagaimana
Aku bilang terserah kau, kau tidak mau
Aku bilang terserah kita, kau tak suka
Aku bilang terserah aku, kau memakiku

Kau ini bagaimana
Atau aku harus bagaimana
-1987-
Karya : KH Mustafa Bisri
Label: 0 komentar | edit post
Unknown
Tiada hari libur, Ibu selalu membangunkanku dari tidur.
“Waktunya bersujud.” Ibu berbisik di telinga dengan suara paling merdu yang pernha kudengar. Serupa dawai yang lembut mengalun, Ibu menyentuh pelipisku dengan bibir paling ranum. Padahal embun belum jua turun, namun bersujud adalah kewajiban kala subuh mencium ubun-ubun.
Tiada paksaan, Ibu berkata dulu. Pilihanku, segera bersujud atau kembali tidur. Pilihanku, segera melanjutkan berwudhu setelah Ibu. Kami membentuk shaft ke arah kiblat. Ibu mengimami dan mengamini segala doa. Kata Ibu, jika nanti aku memiliki suami, Ia lah yang kan menggantikan Ibu setiap hari.
Aku mencintai Ibu, Aku mencintai Ibu, Aku mencintai Ibu seperti kecintaanku merapal doa setiap waktu. Dan bagiku, inilah caraku dengan ibu bercinta dengan doa-doa yang kami amini selalu. Mengikutinya bersujud dan tersenyum dalam pilu. Baginya, inilah cara terbaik saling memeluk tanpa perlu menyentuh. Berdoa untuk satu, keluarga kami yang utuh.
Inilah hari libur, kala ayahku membangunkanku dari tidur.
“Saatnya ke Rumah Tuhan.” Ayah berbisik dengan kumis putih paling mengelitik. Kali ini tak hanya embun yang telah turun dari dedaun, namun keringat Ayah yang kini ikut mengucur dari dahi ke dagu yang kini mulai keriput. Tiada paksaan, Ayah berkata dulu. Pilihanku, segera bersiap ke Rumah Tuhan setelah perut terisi atau tidur kembali. Pilihanku, segera bersiap dan mengikuti Ayah setelah perut terisi penuh di angka sembilan lebih tiga puluh. Ibu mengantar kami ke beranda depan pintu, melambai dengan senyum paling sendu. Anaknya yang tadi Ia ajak bersujud kala subuh, kini harus mengikuti Ayah ke Rumah Tuhan yang baru.
Di jalan, aku dan Ayah tertawa dan bercerita tentang pagi yang jalang. Hingga jarak tak begitu jumawa membentang meski mentari berkuasa atas kami yang berjalan di trotoar-trotoar usang.
Rumah Tuhan yang Ayah selalu sebut berada di Kota, sebuah gereja tua. Sesampainya kami, Ayah memberi alkitab dan salib untuk berdoa nanti. Ia menuntunku untuk duduk saling berdamping di sisi. Aku melihat Ayah tersenyum bahagia melihat anaknya berada di Rumah Tuhan yang Ia miliki.
“Aku mencintaimu, anakku.” Ucapnya penuh haru. Ayah jarang mengatakannya, mungkin bisa kuhitung. Aku memeluk Ayah sebelum Pendeta memulai doa di depan altar. Kali ini, aku sungguh bahagia karena Ayah.

Aku mencintai Ayahku, seperti kecintaanku merapal doa setiap waktu. Dan bagiku, inilah caraku untuk mendengar kata-kata seperti itu keluar dari mulut Ayah, dengan ini pula aku dan Ayah bercinta dengan bernyanyi dalam doa. Nyanyian dalam gereja tua, melipat tangan dengan salib di dada. Aku dan Ayah, sungguh bahagia. Dalam gereja tua aku berdoa, ;

“Tuhan, yang bernama entah. Dalam beda, Ibu dan Ayahku bersatu kepadaMu dalam tiap doa yang berbeda. Dalam beda, buang perkara yang sanggup memisah. Dalam beda, sungguhkah kau benar ada?”
Jika bisa Tuhan kudeskripsikan, kan kusebut " CINTA "

Unknown
Teruntuk,
Sang Pelupa

" Dinginnya kata, lebih menyakitkan dinginnya sikap.Dinginnya malam, lebih menyakitkan dinginnya pelukan. "
Entahlah, apa yang membuat kau selalu menyukai berjalan di gelap tanpa cahaya. Lumpuh langkah terkadang membuat lelah tuk sekedar berpijak, hingga dingin membekukan apa yang ada didalam. Yang tersisa hanya sebuah rasa yang mati ditelan masa.
Rasa takut, cemas, kekecewaan, sakit hati dan traumatis rasa di belakang nampaknya selalu menjadi kacamata hitam untuk mata. Bukankah bayangan seharusnya di belakang, bukan di muka? Lalu mengapa kaca mata hitam menjadi mata untuk kalian berjalan? Bukankah malam yang selalu kalian suka jalani? Adakah guna kacamata hitammu untuk sebuah malam?
Bayangan hitam yang selalu menghantui sejatinya berada di belakang, bukan di mata. Seharusnya menjadi penopang, saat nyata melumpuhkan ingatan. Seharusnya menjadi selimut, saat dingin menghujam-hujam malam yang kelam. Sadarkah kalian, betapa pagi kalian jadikan malam? Seakan Tuhan tak kan memberi cahaya bagi malam. seakan Tuhan tak menyempurnakan putih untuk sang hitam. Seakan Tuhan tak menciptakan pasangan bagi masing-masing manusia.
Saat ombakmu surut, bersabarlah sebentar. Itu hanya bagian terdalam sang ombak tuk kembali pasang. Adakah percaya di dalamnya bahwa Tuhan telah mengatur semuanya bahkan untuk hal terkecil yang acap kali tak kau hiraukan? Mengapa terpuruk dijadikan rumah bagi hati-hati yang kian membusuk untuk ditinggali? Mengapa berhenti jika kau masih bisa berjalan. Meski hidup bagaikan labirin besar di sebuah taman, percayakah kau bahwa terdapat banyak titik temu diantaranya? Meski hidup bagaikan puzzle tak beraturan, percayakah kau bahwa hanya dengan percikan waktu dan daya pikir, kau bisa membentuk gambaran besar untuk apa yang kau cari? Percayakah kau?
Bagiku, cobaan merupakan kunci kebahagiaan. Bagaimana mungkin kau menghargai bahagia, jika bencana tak pernah singgah bahkan untuk sekedar menyapa? Terkadang kita hanya lupa bagaimana mengucap syukur meski hanya sebentar saja. Untuk pagi-pagi yang selalu menyegarkan, untuk hujan yang selalu menyejukkan, untuk senyum dari orang-orang terkasih, untuk kebaikan yang bahkan tidak kita harapkan, untuk rezeki yang bahkan cuma sekedar lewat, untuk bencana yang membawa berkah, bahkan untuk setiap hembusan nafas dariNya. Pernahkah sebentar saja tuk mengucap syukur untuk apa yang kita miliki bahkan untuk yang tidak pernah kita pinta sebelumnya? Bukankah, setidaknya kau masih memiliki hidup?
Manusia dengan segala egonya. Meminta banyak tanpa sedikitpun memberi. Menjadikan satu-satunya korban yang patut tuk dikasihi. Menyalahkan diri sendiri untuk apa yang tak pernah terjadi atau bahkan lebih buruknya ialah menyalahkan Tuhan untuk ketidak-adilan bagi sang tragedi. Hey, sudahlah. Berhentilah meminta untuk hal yang tak pernah kau coba tuk diusahakan. Berhentilah untuk memaksakan keinginan yang tak seharusnya. Berhenti menyalahkan dirimu sendiri terlebih Tuhan yang bahkan tak pernah kau sebut dalam puluhan juta kata yang terlontar dari bibirmu di tiap harinya. Berhentilah.
Apa yang kau inginkan, tidak selalu yang kau butuhkan. Dan Tuhan tahu itu.
Masihkah kau bertanya?
Ikhlaskan untuk apa yang tak pernah terjadi. Percayakan untuk setiap cahaya bagi gelap yang kau jalani. Dan bersabarlah untuk sebuah pasang yang surut. Syukurilah untuk apa yang kau miliki sebelum Tuhan mengambilnya kembali.
Sesungguhnya, kebahagian terselip diantara syukurmu.
Jika ada kata untuk mendeskripsikan Tuhan, aku menyebut itu “Cinta”.

Tertanda,

Sang Pengingat (Yang acapkali lupa)
Unknown
Di atas taplak ku tata rapih lipatan harap yang murai rapuh, 
Angin pun kuasa besar tuk hancurkan sekali tiupan keruh.
Perlahan kupandangi meja bundar dengan garis penuh guratan kayu,
Berlambangkan ragu yang menua bisu.

Aku ialah bantal-bantal pemimpi dengan awan di kepala,
Menembus belahan sisi dari tiga ke empat masa suatu ketika.
Seraya malam, mengetuk pintu perlahan.
Izinkan, biarkan ia datang lagi. . .
Biar ia berkuasa hingga pagi menjelang di tengah malam yang jalang.
Tak kan ia bersiul nyanyikan sendu di tengah sepi ruang,
Kembali jiwa tak berpulang.
Tersesat,
Lagi ia tersesat di tengah-tengah masa silau dengan kedap ruang kasat.

Purnama malam kemarin tak bertombak bintang,
Tak pula memberi harap simpang lapang.
Hanya tangan yang memeluk erat depan dada, hingga dingin menusuk mata.
Ia berharap pada malam, datangkan pagi sedekap harap kelam.
Ku bantu ia berhitung pada pualam,
Mengetuk lagi telinga yang geram.

Sudikah angin kembali datang,???
Membelai mesra hitam di kepala sang malam.
Hingga lagi kembali jalan pulang tak lagi berlari-lari ke dalam.
Biarkan saja,
Jika gulita mengelitik sang jelita yang buruk rupa.
Hingga terlelap mata di telan pikiran-pikiran buta.
Sudikah ia mainkan jemari di tengah meja, menunjuk lautan dengan cermin langit ruang hampa?
Berputar bagai badai di tengah ombak pikiran, menjilat-jilat tangga menuju kuasa Tuhan

Hanya pasir dengan bulir-bulir doa yang menjadi taplak, pun ujung lautan yang hilang tampak.

Aku Muak . . .


Label: 0 komentar | edit post
Unknown
Selamat Sore Sayang,

Iya ini aku,
Aku datang lagi di senja ini. apakah kamu bosan Sayang ?
Sederhana saja sayang aku begitu mencintai senja, ada suatu cinta yang tak dipunyai pagi maupun siang.
Ini hari kedua di Bulan Merah Jambu. Bagaimana kabarmu ? Bagaimana dengan kakimu? semoga baik-baik saja. aku sungguh mencintai tarianmu, jangan sampai duri mencumbu kakimu . karena lantai dansa kayu merindumu untuk kau jamah stiap malam, begitupun aku yang menjadi penikmat setia tarianmu.
Adakah luang untuk sedikit rindu sayang? aku enggan memohon sebenarnya,
Dibatas pilar senja ini kutawarkan kau nikmati kisah rembulan bersamaku sayang.
Aku tak butuh jawabanmu , karena aku sudah meniduri watakmu.
Karena engkau bidadari bumi, segala sesaji kemewahan yang ditawarkan pastilah meluluhkan hasratmu.
Akupun seharusnya menyadari itu. aku hanya bisa menyajikan dua cangkir untuk menghabiskan senja.
Satu cangkir berisi teh tawar kesukaanmu dan satu cangkir lagi berisi kopi hitam milikku.
Seperti sebuah kehidupan sayang, seandainya aku terlalu mencintai pahitnya kopi aku kan mengambil satu jumput, dua jumput teh tawarmu untuk menetralisir pahitku. Romantis bukan ?
Ah sudah lah , karena kamu takkan mau meminum teh tawar yang kuhidangkan, karena kau pasti lebih memilih perasan anggur bila dihadapkan pada keduanya.
Kiranya kau sudi sekadar mengintip aksaraku sayang, tak perlu kau baca hingga habis.
Membukanya pun sudah lumayan bagiku .

"Ini kisah tentang rembulan sayang,
yang sinarnya terang menyapa
mengantar tidurku kepada mimpi
ini kisah tentang rembulan,
genit wajahnya sembunyi balik awan
tersenyum
menggoda resah jiwaku
ini kisah tentang rembulan,
pengabdi malam
setia menjaga sampai pagi
sebelum datang matahari
ini kisah tentang rembulan,
jangan kau tanya aku
kepada siapa hati mengabdi
untuknya
atau untukmu "

Terima Kasih Sayang untuk luangmu,

Tertanda,

Lelaki Penjaga Purnama ( Seorang yang mengutuki dan bersyukur terlahirnya jarak )

Sample Text

Text Widget

Category

Powered By Blogger

Popular Posts