Rabu sore,
Ketika senja mati dipelupuk mata, seingatku begitu
Ada seorang gadis kecil, pernah mencintai sepenuh hati, namun terkhianati, berlalu kemudian ditinggal pergi. 
Diam-diam diundangnya sendiri kematian itu.
Mungkin ia hanya sekelumit gadis bodoh seperti kisah dongeng lainnya. Terjebak pada sebuah kehidupan dalam dunia Naga yang jatuh hati pada Pangeran berkuda putih. Dititahnya gadis kecil keluar dari pesakitan. Cintanya kini sungguh menjadi teramat. Kisah bahagia seperti epic epic lainnya. Jatuh cinta - bahagia - menikah - SELESAI
Namun
ia pelupa, ia hidup di dunia nyata yang kejam dan jauh dari akhir bahagia.
Nyatanya cintanya terkhianati oleh sesorang yang dianggap segalanya. Seseorang
yang begitu hebat dimatanya. Seseorang yang tidak pernah mencintai, seperti ia
mencintai. Seseorang yang pernah datang, kemudian pergi. Lalu kembali pada
detik ia hampir pulih, namun cintanya tak pernah berpaling. Ia masih mencintai,
persis seperti pertama kali. Hatinya layu, atau mungkin dari mula lahir sudah seperti itu.
Cinta
pertama yang selalu mudah untuk datang dan pergi sesuka hati, karena kapanpun
cinta pertama kan kembali, ia selalu siap memberi lagi satu hati yang tak
pernah mati. Sampai akhirnya hatinya benar-benar mati meski cinta pertama tak
lagi pergi (mungkin untuk kesekian kali).
Entahlah,
mungkin hatinya hanya mati suri. Nyatanya sang gadis kecil masih percaya dengan
keajaiban yang ia sebut, “cinta”. Ia percaya, akan ada hati yang mencintai
setulus ia mencintai. Tanpa pernah terbagi pun terkhianati (lagi)
Waktu
terus berjalan, sang gadis kecil masih terus mencari. Satu hati yang selalu ia
dambakan, satu hati yang pasti. Cintapun berkali-kali menghampiri, tawarkan
rasa yang ia anggap pernah mati. Namun, setiap kali cinta datang menghampiri,
ia malah berhenti. Di satu titik yang ia tak ingin ulangi. Iya, jatuh cinta dan
kemudian mati.
Ia
terlalu takut tuk mengucap cinta pada yang tak semestinya. Bukan, bukan takut
disakiti lagi. Ia lebih takut pada dirinya sendiri. Satu sisi yang mungkin
paling liar ia miliki, mencintai.
Lalu
untuk apa selama ini ia mencari bukti? Bukti bahwa cinta itu benar-benar suci.
Apalagi yang ia cari?
Musuhnya
kini bukanlah sakit hati, namun dirinya sendiri. Naluri dan nalar nampaknya tak
pernah berdamai tuk memberi jawaban pasti. Mereka selalu bertengkar dalam diri
sang gadis kecil.
“Berisik!!”
Kata sang gadis kecil kepada sang naluri dan nalar yang berkecamuk dalam diri.
“Tinggalkan aku sendiri!!”, katanya lagi.
Kemudian
ia pergi dan meninggalkan cinta tanpa arti. Seperti itu, dan terus terjadi. Ia
tahu, jika seperti ini terus, ia tak kan bertemu dengan cinta seperti yang ia
ingini. Namun, buntu selalu menghampiri tiap tanya pada rasa yang tak ia
mengerti.
Ia
tahu, ego telah membawanya jauh dari garba kebahagiaan yang selalu siap didepan
mata. Ia pun tahu, musuh terbesarnya kini adalah dirinya sendiri.
Ia
ingini cinta sebesar rasa takutnya pada dirinya sendiri. Ia tak ingini cinta
pergi, namun ia yang selalu ingin pergi.
“Cinta
jangan pergi…” Ia memohon.
“Atau aku yang harus pergi? Agar cinta tak perlu tersakiti?” ucapnya lagi.
Bibirnya
kelu pada hati yang tak pernah ia mengerti atau logika yang selalu menyuruhnya
pergi. Gadis kecil terlalu antipati pada hati yang ia anggap suci.
Jika
masih seperti ini, bisa kupastikan sang gadis kecil hanya berakhir sendiri,
tanpa hati dan kemudian mati tanpa arti.





